www.bankkamu.blogspot.com

blog ini khusus untuk menyimpan artikel artikel dan bisnis terutama bisnis yang berbasis on line di dunia maya internet.mohon maaf jika masih banyak kekurangan baik dari segi artistik blog dan isi jauh dari sempurna.kami masih banyak butuh bimbingan dan arahan serta kritikan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan blog kami ini.trima kasih telah mau berkunjung di rumah kami ini...www.bankkamu.blogspot.com.

Rabu, 15 Desember 2010

demam irfan bachdim

Demam Irfan Bachdim tengah melanda tanah air. Penyerang berdarah Indonesia-Belanda itu telah mengundang gerbong baru penyokong tim nasional. Mereka adalah kaum hawa yang tergila-gila oleh ketampanan pemain berusia 22 tahun itu.

“Akhirnya ada pemain timnas kita yang berwajah tampan.” Begitu komentar seorang hawa yangkini mendadak rajin mengikuti pertandingan tim nasional. Karena kehadiran si pemain tampan itu keberhasilan timnas menjadi lebih banyak diperbincangkan, termasuk oleh kaum hawa. Hadirnya jejaring sosial Twitter dan facebook kemudian membuat gelombang itu menjadi lebih besar dan menasional.

Jadi sama sekali tak mengherankan ketika seorang rekan kerja saya dibuat terkaget-kaget karena anak gadisnya yang masih SMA tiba-tiba mengajak nonton ke Stadion Utama Gelora Bung Karno. Sang dara yang semula tak pernah benar-benar tertarik untuk menonton sepak bola –di televisi sekalipun– kini telah ikut terbawa arus besar itu.

Bachdim, pemain Persema Malang yang berayah orang Indonesia serta beribu orang Belanda, memang memiliki modal jadi pujaan kaum hawa. Wajah Indo-nya sungguh imut dan nyaman dipandang. Tapi tato di lengannya membuat ia juga kelihatan macho.

Bachdim adalah cerminan wajah sepak bola kita yang telah berubah. Berpasangan dengan dia di lini depan tim nasional ada Christian Gonzales, pemain naturalisasi asal Uruguay. Kehadiran keduanya telah membuat Bambang Pamungkas, yang selama ini selalu jadi andalan timnas, tersisih ke bangku cadangan. Dan yang agak di luar dugaan kehadiran keduanya sama sekali tak mengundang reaksi negatif dari masyarakat.

Hal itu mungkin juga didukung oleh hasil mengesankan yang diraih Timnas. Di ajang Piala AFF yang tengah berlangsung, mereka bisa menekuk Laos 6-0, melibas Malaysia 5-1, dan menghajar Thailand –yang selama ini dikenal sebagai raja sepak bola Asia Tenggara– dengan skor 2-1.

Euforia pun kemudian muncul. Rentetan hasil bagus itu mendadak dibaca sebagai tanda-tanda kebangkitan tim nasional. Dan mungkin itu adalah cermian dari sebuah harapan setelah imnas terlalu sering mengecewakan publik. Dalam tujuh gelaran Piala AFF (dulu Piala Tiger) misalnya, tim Merah-Putih sam sekali belum pernah juara.

Saya sendiri memilih menahan diri agar tak segera larut dalam euforia itu. Mengikuti sepak terjang Tim Garuda secara intens membuat saya kerap kecewa.

Saya masih ingat betul pada 2002, di turnamen sama Indonesia yang dibesut Ivan Kolev (kini pelatih Sriwijaya FC) tampil lumayan di babak penyisihan grup. Catatan tak pernah kalah mengantar tim itu ke semifinal. Keberhasilan menekuk Malaysia 1-0, juga membuat tim itu melaju ke final. Sayang di partai puncak Indonesia ditekuk Thailand 4-2 dalam adu penalti setelah tim bermain 2-2.

Dua tahun kemudian, euforia kebangkitan juga sempat muncul di awal keikutsertaan di turnamen Asia Tenggara itu. Di bawah besutan Peter Withe, mantan pelatih Thailand, Indonesia tampil mengesankan di babak penyisihan grup.

Ilham Jayakesuma dan kawan-kawan saat itu menjadi juara Grup A juga dengan sejumlah kemenangan telak: 6-0 atas Laos, 3-0 atas Vietnam, 8-0 atas Kamboja, meski juga sempat ditahan Singapura tanpa gol. Kemenangan 5-3 dari Malaysia lantas mengantar tim ke babak final. Sayangnya, lagi-lagi di babak puncak kita harus kandas. Kali ini ditekuk Singapura 1-3 dan 2-1.

Saya sesungguhnya agak khawatir bahwa hebatnya kita bukan karena murni karena peningkatan kualitas tim kita, tapi karena lawan yang tengah menurun. Kekuatan lama Asia Tenggara, yakni Thailand, Singapura, dan Vietnam (ketiganya mantan juara) sama-sama tampil kedodoran di ajang ini. Filipina, dengan sederet pemain blasteran serupa Irfan Bachdim, justru muncul sebagai kuda hitam mencengangkan.

Tapi, tentu saja, saya sangat berharap euforia yang muncul kali ini akan berakhir lain, lebih manis. Dan memang ada sejumlah hal yang bisa membuat kita lebih optimistis.

Di tubuh tim nasional, Alfred Riedl, pelatih asal Austria, sudah berani melakukan hal yang agak berbeda dari pendahulunya. Ia punya keberanian. Mantan pelatih Laos itu tak segan mencadangkan BP, penyerang yang selama ini dianggap jadi ikon timnas, demi dua pemain naturalisasi.

Ia mencoret Boaz Salossa, pemain paling berbakat yang dimiliki Indonesia karena dianggap tak disiplin. Riedl juga berani mengandalkan darah baru untuk timnya, termasuk Zulkifli Syukur, Muhammad Nasuha, Oktovianus Maniani, dan Ahmad Bustomi.

Klaim kebangkitan sepak bola nasional tentu masih harus ditunggu kebenarannya, paling tidak pada partai final pada 29 Desember nanti. Tapi di satu sisi, saat ini pun kita sesungguhnya sudah memenangi sesuatu.

Masyarakat, termasuk banyak kaum hawa, kini mulai kembali menunjukkan kecintaannya yang menggelora pada timnas. Ini adalah arus positif yang berkebalikan dengan tren belakangan ini berupa terus membanjirnya kekecewaan, cercaan, dan tuntutan mundur buat Ketua Umum PSSI Nurdin Halid.

Aspek positif lain juga ada dalam berubahnya rekrutmen pemain tim nasional. Masuknya para pemain naturalisasi ke dalam tim, yang relatif mulus tanpa penolakan, mungkin jadi penanda telah kian terbuka masyarakat kita.

Hal-hal positif itu mungkin saja akan jadi modal berharga bagi masa depan sepak bola kita. Semoga

Tidak ada komentar: